Hanya karena ilmu, tak heran bila konon, para pecinta ilmu sampai harus lupa, bahkan tak ingin meminang seorang gadis untuk menjadi pendamping hidup setianya.
Sebutlah di antaranya, Abul Barokat Al-Anmathi, Imam Jamaluddin Al-Qifthi An-Nahwi, Imam An-Nawawi (shohib Minhaj), Ibnu Taimiyyah (Syaikhul Islam An-Naqid), Abu Ja’far Ibnu Jarir Ath-Thabari (Muasis Tafsir), Bisyr Al-Marwazi, Abu Ali Al-Farisi, dan yang lainnya.
Kata salah seorang di antaranya, “bila masih terbesit sesosok perempuan dalam hati, itu hanya akan mengganggu terjalinnya ilmu secara terpatri.”
Tergeleng-geleng rasanya seketika melihat mereka bisa sekuat itu. Padahal, Imam Al-Ghazali, sekelas Hujjatul Islam saja beliau pernah mengalami kegundahan dalam letih; karena tak hadirnya sesosok bidadari sebagai penawar kasih.
Aslinya, Imam Al-Ghazali belum ada niatan untuk menua hidup bersama seorang pendamping. Dalam benaknya hanya ilmu, ilmu, dan ilmu. Selalu ia sibukkan dengan menulis. Bahkan seketika ditanya oleh adiknya, yaitu Ahmad, “kapan kau akan menyusulku untuk mempunyai seorang istri yang akan menemanimu dalam menapaki jalan ilmu?”
Jawab Al-Ghazali, “saya tidak ada pikiran ke sana!”
Baca juga: Pernah Putus Sekolah, Kisah Sedih Masa Kecil Amid Ushuluddin Universitas Al-Azhar
Takdir pun yang menghukumi. Ketika di Baghdad, Imam Al-Ghazali diberi seorang budak perempuan dari seorang Amirul Mukminin di sana. Waktu silih berganti, sampai dimana budak perempuan itu mendapat kabar akan keluarganya, lantaran Imam Al-Ghazali pun membebaskan dan mempersilahkannya untuk pergi. Tapi kenyataannya, bila sepasang hati telah dipertemukan, maka tak akan bisa lari terpisahkan.
Dalam perjalanannya si budak perempuan, rasa yang mengganjal terus merenggutnya. Seolah kepergiannya adalah jalan yang salah. Begitupun dengan Imam Al-Ghazali, terbukanya pintu kepergian bagi budak perempuan yang telah ia beri itu justru malah membuat dirinya terus dihantui gundah gelisah, kesibukannya dalam terus meneguk ilmu seolah hampa nan pasrah, seraya ingin budak perempuan itu kembali untuk menjadi belahan jiwanya.
Akhirnya, budak perempuan itu pun memutuskan untuk kembali. Lantas dengan bahagia kegirangan Imam Al-Ghazali menyambutnya. Dari situlah mereka menjadi sepasang belahan jiwa yang menyatu. Di sinilah jalan ilmu Imam Al-Ghazali senantiasa ditemani oleh istri tercinta, namanya Siti Shoda. Jadinya tak lagi kesepian, niat awalnya yang menjomblo pun telah terhapus oleh perasaan.
Baca juga: Mari Mengenal Masyayikh Al-Azhar
Hebat lagi, Imam Ibnu Al-Anbari. Seorang ulama ahli tafsir dan sastrawan yang keren. Hafalan-hafalannya dalam ilmu tak kalah dahsyat. Bisa terhitung sejumlah 13 lemari besar berbagai kitab yang ia hafal.
Singkat kisah, beliau sangat -anti wanita- sampai ketika ada seorang gadis bertanya soal tafsir ayat, dengan alasan ke kamar mandi beliau mengabaikan hingga tak kembali lagi.
Ketika melihat dan didatangi seorang budak perempuan, ia pernah berkata, “perempuan itu telah memanah hatiku!” Sampai dimana beliau meminta muridnya untuk membawa budak perempuan itu pergi.
Sehingga seorang sahabatnya menyindir, “mau sampai kapan kau seperti ini, Bro? Lihatlah apabila hadir seorang istri bersamamu, kau akan senantiasa ada yang memperhatikan dan lebih terurus.” Lantaran kata Ibnu Al-Anbari, “hidup sendiri lebih nikmat, gaes, sudah menjadi hari-hari kebiasaanku seperti ini.”
Baca juga: Madrasah Keilmuan Al-Azhar
Saking antinya juga, di kala datang kembali seorang gadis bertanya soal ilmu, tanpa menatap ia menjawab dan segera memintanya untuk keluar. Lantaran si gadis itu mempertanyakan atas dasar apa kesalahannya sehingga harus dipintanya keluar begitu cepat. Kata Ibnu Al-Anbari, “kau telah mengganggu hatiku dari sibuknya aku pada ilmu….”
Katanya, “lazim bagi seorang penuntut ilmu di dalam hatinya terdapat ilmu semata, yang dimana ia tak akan menghadirkan saingan bagi ilmu di dalam hatinya!”
Merekalah Ulama Uzzab!
Jujur, saya pribadi belum tentu mampu sekuat itu. Akan tetapi memang begitulah realitanya. Selagi dalam hati seorang penuntut ilmu disibukkan oleh “wanita”, kemurnian ilmu dan tekadnya pun akan ternodai. Kecuali, bila waktu yang telah dihalalkan. Karena setiap individu pasti butuh berpasang-pasang guna menyatukan esensi cinta dari hati ke hati.
Penulis: Andrian Rizki
Editor: Syaifur Rohman